“And an increasing share of teens and young readers aren’t just digital natives but smartphone natives. Social platforms are their centers of attention. And later iterations of these platforms are — intentionally — not designed to be friendly to news or anything else that wants a share of that attention.”
Tulisan di www.niemanlab.org tersebut seperti merangkum fakta yang kita lihat sehari-hari. Anak-anak kita seperti tidak bisa lepas dari handphone-nya. Anak saya yang paling kecil, contohnya. Saat di rumah, handphone-nya selalu tidak pernah berhenti bunyi. Ada saja yang dia lakukan dengan handphone-nya, yang kebanyakan berhubungan dengan social media atau chatting.
Melihat fakta ini, beberapa ibu ada yang khawatir pada dampaknya. Ada yang takut anaknya jadi tidak punya jiwa sosial atau bahkan sampai ada yang terjerumus pornografi. Yang pada akhirnya kekhawatiran tersebut membuat anak dilarang untuk menggunakan handphone.
Di era digital sekarang, informasi memang tidak terbendung. Walau untuk browser ada aplikasi firewall, yang melindungi anak-anak kita dari informasi berkonten buruk, tetap saja celah informasi buruk tidak bisa dihalangi.
Untuk masalah ini, masing-masing ibu memang punya pilihan solusi dan trik. Tapi bagi saya, menjauhkan anak dari handphone bukanlah yang sepenuhnya tepat. Saya lebih suka memberi mereka pengertian dan tanggung jawab tentang penggunaan handphone ketimbang melarang mereka menggunakannya.
Saya juga tak pernah mengecek social media anak-anak saya. Saya tak pernah stalking Twitter mereka, bahkan kami tidak saling berteman di social media. Saya percaya sepenuhnya pada mereka.
Efeknya, anak-anak saya sadar dengan sendirinya. Walau handphone mereka tak pernah berhenti bunyi, tapi itu tidak membuat mereka harus pegang dan berinteraksi dengan handphone-nya sepanjang waktu mereka di rumah. Mereka pun menjaga dirinya saat berinteraksi dengan orang lain di social media.
Di lain sisi, saya juga memberikan contoh pada mereka, begitu saya sudah di rumah maka 100 persen waktu dan perhatian saya untuk mereka. Being there 100% for them. Sehingga secara tak langsung, anak-anak saya pun meniru dengan menyediakan waktu mereka di rumah untuk berinteraksi dengan keluarga.
Anak-anak saya pun akhirnya bisa secara dewasa memilih informasi yang masuk ke dunia mereka. Tanpa harus saya guide satu-persatu.
Seperti dua sisi mata uang, era digital juga punya banyak hal positif. Bagaimana pun, kita para orangtua, terutama ibu, akhirnya memang harus siap dengan perubahan kehidupan ke arah digital ini. Tidak cuma di keluarga, tapi juga kehidupan, dan pekerjaan.